Kasus petani talang sari terjadi pada tanggal 6-7 Februari 1989, Talang
sari, Lampung. Kasus petani talang sari merupakan perjuangan ideologi yang diwujudkan dalam
bentuk perang (qital) antara sekelompok orang yang sudah siap mati
syahid –demi tegaknya sebuah Negara Islam yang menyempal dari NKRI–
dengan aparat negara yang menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI.
Tempat yang digunakan
untuk mendirikan Negara Islam, jatuh pada sebuah lahan seluas satu setengah
hektar milik Warsidi –tanah hibah dari Jayus alias Dayat bin Karmo
– yang terletak di Dukuh Cihideung, Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama,
Kecamatan Way Jepara, Lampung Tengah.
Warsidi setelah
menginternalisasi doktrin tersebut, ia menjadi sosok berbeda dari sebelumnya. Setelah
kedatangan ‘aktivis dari Jakarta’ Warsidi kian vokal. Dalam
setiap khotbahnya, Warsidi menebarkan permusuhan. Pemerintah divonis kafir, dan
Pancasila adalah berhala. Semangat mendirikan Negara Islam sudah semakin
tegas terlihat. Penolakan Warsidi terhadap keberadaan pemerintahan Soeharto
(Orde Baru) kala itu, diwujudkan dengan menolak membayar pajak, menolak
mengantongi Kartu Tanda Penduduk (KTP). Setelah itu datanglah para
’’Muhajirin’’ dari daerah Jawa dan daerah lainnya. Para ‘muhajirin’
ini merasa berhak atas itu semua, karena semua itu pada dasarnya milik Allah,
dan Allah mewariskan bumi dan segala isinya bagi orang-orang saleh, dan yang
dimaksud dengan orang-orang saleh adalah kelompok mereka sendiri.
Pada suatu hari
Warsidi membuat suatu undangan, Pertemuan yang berlangsung di rumah panggung
selama satu jam itu, terasa menegangkan dan tidak bersahabat. Tanggal 1
Februari 1989, Warsidi tak juga datang. Malah menurut pantauan Lurah Rajabasa
Lama Amir Puspa Mega, Warsidi dan anak buahnya melakukan kegiatan tak lazim,
seperti belajar memanah, latihan beladiri, dan merakit bahan peledak dari botol
bekas minuman anggur. Nampaknya mereka sedang menyiapkan genderang perang untuk
ditabuh. Esok harinya, 2 Februari 1989, Kepala Dusun Talang Sari III Sukidi
menyelinap mendekat lokasi. Dari balik semak, ia melihat kejanggalan: ada sejumlah anak muda dibalut pangsi hitam
dengan ikat kepala, bersenjata pedang, celurit, golok, dan panah. Nampaknya,
genderang perang sudah semakin siap ditabuh. Sukidi pun melaporkan temuannya
kepada Komandan Koramil Kapten Soetiman.
Pada tanggal 6
Februari 1989, terjadi penyerangan terhadap Kapten Soetiman dan anggotanya. Kapten
Soetiman menjadi bulan-bulanan anak buah Warsidi yang tengah kesetanan. Ia
dikejar-kejar, tubuhnya dikoyak-koyak, dan lehernya ditebas sampai tewas oleh mbah Marsudi.
Pasca terbunuhnya
Kapten Soetiman, 6 Februari 1989, sore hari sekitar jam 17:00 wib Fadhillah
kembali ke Sidorejo, dengan membawa perintah dari Warsidi untuk membuat
kekacauan di Tanjung Karang, dalam rangka mengalihkan perhatian aparat pasca
terbunuhnya Kapten Soetiman.
Pada tanggal, 7
Februari 1989, banyak terjadi pembunuhan, baik itu anggota TNI maupun anggota
Warsidi.
Ternyata, Maksud mendirikan perkampungan
Islam sebagai embrio mendirikan Negara
Islam telah menghasilkan peristiwa berdarah. Belakangan disadari oleh
sebagian mantan jamaah Warsidi sendiri, bahwa maksud itu ternyata ibarat cek
kosong yang diberikan kepada Warsidi. Sebab, yang kemudian terlihat adalah
mensosialisasikan keterampilan membuat panah oleh anak-anak Jakarta kepada
jamaah Warsidi, juga latihan baris berbaris ala militer. Ternyata, maksud
sebenarnya bukanlah mendirikan perkampungan Islam, tetapi sebuah persiapan
melakukan peperangan melawan aparat sipil (dan tentara). Dan rencana itu sudah dirancang Nurhidayat dan
kawan-kawan sejak mereka masih di Jakarta. Kasus Talangsari adalah sebuah
perlawanan bersenjata primitif – dalam bahasa pergerakan disebut qital – yang perencanaannya sudah
disusun jauh sebelum kasus Talangsari itu terjadi (Februari 1989), oleh Nur Hidayat, Sudarsono, Fauzi Isnan, Alex,
Margo, yang disebut-sebut sebagai "aktivis dari Jakarta". Sehingga
pendekatan yang dilakukan oleh aparat adalah pendekatan di medan perang,
apalagi sebelumnya telah jatuh korban jiwa dari pihak aparat (Komandan Koramil Kapten Soetiman, siang hari tanggal 6
Februari 1989, dan Pratu Budi Waluyo,
malam harinya).
KESIMPULAN
1.
Kapan
dan dimana terjadinya kasus tersebut ?
Ø Kasus Petani Talng Sari terjadi pada tanggal 6-7 Februari 1989 di
Talangsari, Lampung.
2. Apa yang melatar belakangi terjadinya kasus tersebut ?
Ø Latar belakangnya adalah kasus talang sari merupakan peperangan antar
Mujahidin yang ingin mendirikan negara islam dengan TNI. Selain itu karena
kelompok Mujahiddin menebarkan permusuhan dengan mengatakan bahwa pemerintah
adalah orang kafir dan pancasila adalah berhala.
3. Terjadi antar siapa dan siapa ?
Ø Terjadi antar kelompok. Yaitu kelompok Mujahidin dan TNI.
4. Bagaimana penyelesaian yang dilakukan pemerintah maupun KOMNAS HAM ?
Ø Dengan menyidangkannya dan menyerahkan kasus ini kepada Kejaksaan Agung dan
KOMNAS HAM. Ada 2 solusi untuk penyelesaian, Pertama, jika sarat dengan tindak
pidana tertentu, maka diproses sebagai perkara tindak pidana umum.
Kedua, menekan DPR merevisi UU tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sehingga seluruh kasus dugaan pelanggaran HAM
berat di masa lampau dapat diselesaikan secara rekonsiliasi dan kepada korban
dapat mendapat kompensasi atau restitusi. (okezone)
5.
Apa komentar kalian ?
Ø Komentar kami adalah seharusnya Kasus Petani Talang Sari ini tidak perlu
terjadi. Dan Polemik tentang kasus Talangsari, Lampung yang kini mencuat
sebenarnya tidak perlu dipertajam jika diletakkan dalam koridor hukum, baik
yang menggunakan pendekatan normatif maupun sosiologis dan filosofis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar