Wikipedia

Hasil penelusuran

Translate

17 Februari 2013

KASUS PETANI TALANG SARI



Kasus petani talang sari terjadi pada tanggal 6-7 Februari 1989, Talang sari, Lampung.  Kasus petani talang sari merupakan perjuangan ideologi yang diwujudkan dalam bentuk perang (qital) antara sekelompok orang yang sudah siap mati syahid –demi tegaknya sebuah Negara Islam yang menyempal dari NKRI– dengan aparat negara yang menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI.
Tempat yang digunakan untuk mendirikan Negara Islam, jatuh pada sebuah lahan seluas satu setengah hektar milik Warsidi –tanah hibah dari Jayus alias Dayat bin Karmo – yang terletak di Dukuh Cihideung, Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Lampung Tengah.
Warsidi setelah menginternalisasi doktrin tersebut, ia menjadi sosok berbeda dari sebelumnya. Setelah kedatangan ‘aktivis dari Jakarta’ Warsidi kian vokal. Dalam setiap khotbahnya, Warsidi menebarkan permusuhan. Pemerintah divonis kafir, dan Pancasila adalah berhala. Semangat mendirikan Negara Islam sudah semakin tegas terlihat. Penolakan Warsidi terhadap keberadaan pemerintahan Soeharto (Orde Baru) kala itu, diwujudkan dengan menolak membayar pajak, menolak mengantongi Kartu Tanda Penduduk (KTP). Setelah itu datanglah para ’’Muhajirin’’ dari daerah Jawa dan daerah lainnya.  Para ‘muhajirin’ ini merasa berhak atas itu semua, karena semua itu pada dasarnya milik Allah, dan Allah mewariskan bumi dan segala isinya bagi orang-orang saleh, dan yang dimaksud dengan orang-orang saleh adalah kelompok mereka sendiri.
Pada suatu hari Warsidi membuat suatu undangan, Pertemuan yang berlangsung di rumah panggung selama satu jam itu, terasa menegangkan dan tidak bersahabat. Tanggal 1 Februari 1989, Warsidi tak juga datang. Malah menurut pantauan Lurah Rajabasa Lama Amir Puspa Mega, Warsidi dan anak buahnya melakukan kegiatan tak lazim, seperti belajar memanah, latihan beladiri, dan merakit bahan peledak dari botol bekas minuman anggur. Nampaknya mereka sedang menyiapkan genderang perang untuk ditabuh. Esok harinya, 2 Februari 1989, Kepala Dusun Talang Sari III Sukidi menyelinap mendekat lokasi. Dari balik semak, ia melihat kejanggalan: ada sejumlah anak muda dibalut pangsi hitam dengan ikat kepala, bersenjata pedang, celurit, golok, dan panah. Nampaknya, genderang perang sudah semakin siap ditabuh. Sukidi pun melaporkan temuannya kepada Komandan Koramil Kapten Soetiman.
Pada tanggal 6 Februari 1989, terjadi penyerangan terhadap Kapten Soetiman dan anggotanya. Kapten Soetiman menjadi bulan-bulanan anak buah Warsidi yang tengah kesetanan. Ia dikejar-kejar, tubuhnya dikoyak-koyak, dan lehernya ditebas sampai tewas oleh mbah Marsudi.
Pasca terbunuhnya Kapten Soetiman, 6 Februari 1989, sore hari sekitar jam 17:00 wib Fadhillah kembali ke Sidorejo, dengan membawa perintah dari Warsidi untuk membuat kekacauan di Tanjung Karang, dalam rangka mengalihkan perhatian aparat pasca terbunuhnya Kapten Soetiman.
Pada tanggal, 7 Februari 1989, banyak terjadi pembunuhan, baik itu anggota TNI maupun anggota Warsidi.
          Ternyata, Maksud mendirikan perkampungan Islam sebagai embrio mendirikan Negara Islam telah menghasilkan peristiwa berdarah. Belakangan disadari oleh sebagian mantan jamaah Warsidi sendiri, bahwa maksud itu ternyata ibarat cek kosong yang diberikan kepada Warsidi. Sebab, yang kemudian terlihat adalah mensosialisasikan keterampilan membuat panah oleh anak-anak Jakarta kepada jamaah Warsidi, juga latihan baris berbaris ala militer. Ternyata, maksud sebenarnya bukanlah mendirikan perkampungan Islam, tetapi sebuah persiapan melakukan peperangan melawan aparat sipil (dan tentara). Dan rencana itu sudah dirancang Nurhidayat dan kawan-kawan sejak mereka masih di Jakarta. Kasus Talangsari adalah sebuah perlawanan bersenjata primitif – dalam bahasa pergerakan disebut qital – yang perencanaannya sudah disusun jauh sebelum kasus Talangsari itu terjadi (Februari 1989), oleh Nur Hidayat, Sudarsono, Fauzi Isnan, Alex, Margo, yang disebut-sebut sebagai "aktivis dari Jakarta". Sehingga pendekatan yang dilakukan oleh aparat adalah pendekatan di medan perang, apalagi sebelumnya telah jatuh korban jiwa dari pihak aparat (Komandan Koramil Kapten Soetiman, siang hari tanggal 6 Februari 1989, dan Pratu Budi Waluyo, malam harinya).

KESIMPULAN

1.    Kapan dan dimana terjadinya kasus tersebut ?
Ø Kasus Petani Talng Sari terjadi pada tanggal 6-7 Februari 1989 di Talangsari, Lampung.
2.   Apa yang melatar belakangi terjadinya kasus tersebut ?
Ø Latar belakangnya adalah kasus talang sari merupakan peperangan antar Mujahidin yang ingin mendirikan negara islam dengan TNI. Selain itu karena kelompok Mujahiddin menebarkan permusuhan dengan mengatakan bahwa pemerintah adalah orang kafir dan pancasila adalah berhala.
3.   Terjadi antar siapa dan siapa ?
Ø Terjadi antar kelompok. Yaitu kelompok Mujahidin dan TNI.
4.   Bagaimana penyelesaian yang dilakukan pemerintah maupun KOMNAS HAM ?
Ø Dengan menyidangkannya dan menyerahkan kasus ini kepada Kejaksaan Agung dan KOMNAS HAM. Ada 2 solusi untuk penyelesaian, Pertama, jika sarat dengan tindak pidana tertentu, maka diproses sebagai perkara tindak pidana umum.
Kedua, menekan DPR merevisi UU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sehingga seluruh kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lampau dapat diselesaikan secara rekonsiliasi dan kepada korban dapat mendapat kompensasi atau restitusi. (okezone)
5.   Apa komentar kalian ?
Ø Komentar kami adalah seharusnya Kasus Petani Talang Sari ini tidak perlu terjadi. Dan Polemik tentang kasus Talangsari, Lampung yang kini mencuat sebenarnya tidak perlu dipertajam jika diletakkan dalam koridor hukum, baik yang menggunakan pendekatan normatif maupun sosiologis dan filosofis.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar