Memang tak
ada yang abadi di dunia ini. Tapi paling tidak, kuharap dalam tiga tahun yang
kuhabiskan di sekolahku ini, aku mendapatkan sahabat. Nyatanya, orang yang
kuanggap sahabat, justru meninggalkanku kala ku membutuhkannya. “May,
nelpon yuk. Wartel buka tuh,” ujar seorang teman yang hampir kuanggap sahabat,
Riea pada ‘sahabat’ku yang lain saat kami di perpustakaan. “Yuk,
yuk, yuk!” balas Maya, ‘sahabatku’. Tanpa mengajakku Kugaris
bawahi, dia tak mengajakku. Langsung pergi dengan tanpa ada basa-basi
sedikitpun. Padahal hari-hari kami di asrama sering dihabiskan bersama. Huh,
apalagi yang bisa kulakukan.
Aku melangkah keluar dari perpustakaan dengan
menahan tangis begitu dasyat. Aku begitu lelah menghadapi kesendirianku yang
tak kunjung membaik. Aku selalu merasa tak punya teman. “Vy, gue
numpang ya, ke kasur lo,” ujarku pada seorang yang lagi-lagi kuanggap
sahabat. Silvy membiarkanku berbaring di kasurnya. Aku menutup
wajahku dengan bantal. Tangis yang selama ini kutahan akhirnya pecah juga. Tak
lagi terbendung. Sesak di dadaku tak lagi tertahan. Mengapa mereka tak juga
sadar aku butuh teman. Aku takut merasa sendiri. Sendiri dalam sepi begitu
mengerikan. Apa kurangku sehingga orang yang kuanggap sahabat selalu pergi
meninggalkanku. Aku tak bisa mengerti semua ini. Begitu banyak pengorbanan yang
kulakukan untuk sahabat-sahabatku, tapi lagi-lagi mereka
‘menjauhiku’. “Faiy, lo kenapa sih ? kok nangis tiba-tiba,”
tanya Silvy padaku begitu aku menyelesaikan tangisku. “Ngga papa,
Vy,” aku mencoba tersenyum. Senyuman yang sungguh lirih jika
kumaknai. “Faiy, tau nggak ? tadi gue ketemu loh sama dia,” ujar
Silvy malu-malu. Dia pasti ingin bercerita tentang lelaki yang dia sukai.
Aku tak begitu berharap banyak padanya untuk menjadi sahabatku.
Kurasa semua sama. Tak ada yang setia.
Kadang aku merasa hanya dimanfaatkan
oleh ‘sahabat-sahabatku’ itu. Kala dibutuhkan, aku didekati. Begitu masalah
mereka selesai, aku dicampakkan kembali. “Faiy, kenapa ya,
Lara malah jadi jauh sama gue. Padahal gue deket banget sama dia. Dia yamg dulu
paling ngerti gue. Sahabat gue,” Silvy curhat padaku tentang Lara yang begitu
dekat dengannya, dulu. Sekarang ia lebih sering cerita padaku.
Entah mengapa mereka jadi menjauh begitu. “Yah, Vy. Jangan merasa
sendirian gitu dong,” balasku tersenyum. Aku menerawang,” Kalau lo sadar, Vy,
Allah kan selalu bersama kita. Kita ngga pernah sendirian. Dia selalu menemani
kita. Kalau kita masih merasa sendiri juga, berarti jelas kita ngga ingat Dia,”
kata-kata itu begitu saja mengalir dari bibirku. Sesaat aku
tersadar. Kata-kata itu juga tepat untukku. Oh, Allah, maafkanku selama ini
melupakanmu.
Padahal Dia selalu bersamaku. Tetapi aku masih sering merasa
sendiri. Sedangkan Allah setia bersama kita sepanjang waktu. Bodohnya aku. Aku
ngga pernah hidup sendiri. Ada Allah yang selalu menemaniku. Dan seharusnya aku
sadar, dua malaikat bahkan selalu di sisiku. Tak pernah absen menjagaku. Kenapa
selama ini aku tak menyadarinya? Dia akan selalu mendengarkan ‘curhatanku’. Dijamin
aman. Malah mendapat solusi. Silvy tiba-tiba memelukku.
“Sorry banget, Faiy. Seharusnya gue sadar. Selama ini tuh lo yang selalu
nemenin gue, dengerin curhatan gue, ngga pernah bete sama gue. Dan lo bisa
ngingetin gue ke Dia. Lo shabat gue. Kenapa gue baru sadar sekarang, saat kita
sebentar lagi berpisah…” Silvy tak kuasa menahan tangisnya. Aku
merasakan kehampaan sejenak. Air mataku juga ikut meledak. Akhirnya, setelah
aku sadar bahwa aku ngga pernah sendiri dan ingat lagi padaNya, tak perlu aku
yang mengatakan ‘ingin menjadi sahabat’ pada seseorang.
Bahkan malah orang lain
yang membutuhkan kita sebagai sahabatnya. Aku melepaskan pelukan
kami. “ Makasih ya, Vy. Ngga papa koki kita pisah. Emang kalau
pisah, persahabatan bakal putus. Kalau putus, itu bukan persahabatan,” kataku
tersenyum. Menyeka sisa-sisa air mataku. Kami tersenyum bersama.
Persahabatan yang indah, semoga persahabatan kami diridoi Allah.
Sahabat itu, terkadang tak perlu kita cari. Dia yang akan menghampiri kita
dengan sendirinya. Kita hanya perlu berbuat baik pada siapapun. Dan yang
terpenting, jangan sampai kita melupakan Allah. Jangan merasa sepi. La takhof,
wala tahzan, innallaha ma’ana..Dia tak pernah meninggalkan kita. Maka jangan
pula tinggalkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar